Halaman

Selasa, 19 April 2011

Perjalanan Spiritual Menuju Bromo

Perjalanan Spiritual Menuju Bromo

Tengger merupakan komunitas masyarakat yang mayoritas beragama Hindu. Hindu sudah datang ke wilayah ini jauh sebelum Islam datang. Sehingga tidak benar kalau komunitas Hindu Tengger merupakan pelarian dari kerajaan Demak yang ditundukan Islam. Sampai tahun 2007 jumlah penganut Hindu di sini mencapai 99%. Mereka menyembah dewa Brahma yang sering disebut penduduk dengan dewa Brohmo yang menjadi nama gunung di wilayah ini.

Semua informasi di atas saya dapatkan dari wawancara dengan pemangku adat yang akan mendampingi menuju gunung Bromo. Wawancara terjadi sekitar 30 menit dimulai pukul 13.30 sampai 14.00 di rumah pemangku adat, sambil menunggu jip yang akan membawa saya dan teman-teman Religious Studies UIN Sunan Gunung Djati Bandung berwisata spiritual. Selain Bromo kami juga berencana akan mengikuti prosesi Waisak di Borobudur.

Pukul 14.00 kami menaiki 3 jip dan menghabiskan waktu sekitar 15 menit menuju gunung bromo. Jalan yang dilalui begitu mendaki dan sempit, namun dengan sajian pemandangan yang sangat indah. Jip hanya bisa mengantarkan kami di tepi lautan pasir yang mengelilingi gunung Bromo dan gunung Batok. Selanjutnya perjalanan dilanjutan dengan jalan kaki dan dengan menaiki kuda.

Fenomena alam yang sangat indah terlihat begitu kami sampai. Kuasa Allah terlihat sangat nyata. Pelukis manapun takkan bisa menyaingi kesempurnaan alam yang ada di sana. Untuk menuju kawah Bromo sebelumnya saya harus melewati lautan pasir yang diselimuti udara dingin. Lautan pasir yang terbentang mengelilingi gunung bromo dan gunung batok sangat unik dan cantik. Jarak lautan pasir dari tempat pemberhentian jip ke pura yang kami tuju sekitar 300 meter. Kami berjalan kaki untuk sampai di sana.

Sebuah pura artistic terletak di kaki kawah Bromo menambah suasana religious semakin terasa. Pura itu memiliki dua gerbang. Gerbang pertama terletak dibagian terluar dengan bentuk khas pura pada umumnya. Bentuk gerbang ini banyak juga saya temukan di depan pemukiman penduduk Tengger. Sebenarnya saya ingin bertanya tentang makna dibalik bentuk gerbang ini. Namun Karena sang pemangku sangat khusu memandu kami, saya hawatir merusak suasana religious ini.

Selanjutnya kami memasuki gerbang ke dua yang terdiri dari 3 gerbang dengan bentuk seperti candi. Gerbang ini berpintu merah dan kuning. Gerbang yang paling besar terletak di tengah. Saya pikir kami akan melewati gerbang tersebut. Ternyata sang pemangku mengajak melewati jalan masuk lain yang terdapat di sebelah kanan ketiga gerbang tersebut. Mungkin gerbang ini hanya dipakai dalam ritual yang resmi.

Ketika memasuki pura saya dan teman-teman terlebih dahulu di perciki air suci oleh pemangku agar fikiran kami menjadi bersih. Setelah sebelumnya ditanyakan apakah di antara kami ada yang ditinggalkan wafat keluarga baru-baru ini dan sedang haid? Karena orang dengan kedua kondisi tersebut, tidak diizinkan memasuki pura lebih dalam lagi. Di dalam pura, pemangku memandu doa di depan sesajen yang disimpan dalam sebuah tempat seperti miniatur rumah (saung kecil). Saung kecil tersebut dihias kain kuning dikeempat sisinya. Sesajian buah pisang segar, dupa serta kemenyan dan berbagai peralatan ritual lainnya ditata di depan saung tersebut. Saat pemangku adat memimpin kami berdoa, kami duduk di belakangnya. Tidak semuanya khusu memang, apalagi saat diabadikan dengan kamera yang ada malah bergaya hu…plis deh ah…jangan lebay…

Setelah berdoa kami menjelajahi isi pura tersebut. Tepat 5 meter di depan saung sesaji tadi ada tempat seperti altar yang diapit dua patung. Entah itu patung apa namun sepertinya itu patung seorang dewi. Jalan di tengah menuju altar terdapat tangga yang berjumlah 8 buah. Tangga tersebut memiliki pegangan patung naga yang sangat panjang. Tubuh naga ini mengelilingi seluruh altar yang mirip panggung pentas. Kami tidak bisa memasukinya karena dipagari bambu. Namun saya dan beberapa teman sempat naik untuk melihat dan berfoto di sana. Beberapa patung juga menghiasi bagian dalam pura. Di sebelah kiri pura ada patung ganesha. Di bagian yang lain saya tidak tau itu patung apa.

Setelah ritual di pura selesai, kami mendaki menuju puncak gunung Bromo dengan menaiki kuda. Dibutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai di tangga menuju kawah Bromo. Kuda yang saya naiki berjalan dengan pelan karena dituntun pemiliknya. Jalan yang dilalui sangat mendaki dan bergelombang. Jalan mendaki dengan bukit pasir agak menyulitkan buat saya yang tidak terbiasa menaiki kuda. Tapi semangat untuk dapat sampai ke kawah Bromo mengatasi hal ini. Setelah turun dari kuda, kami harus menaiki 253 tangga menuju puncak Bromo. Waktu yang saya perlukan sekitar 7 menit. Namun ada beberapa teman yang membutuhkan waktu lebih dari itu.

Sesampainya di kawah Bromo, saya meyaksikan pemandangan yang mirip dengan fenomena alam gunung tangkuban parahu di Bandung. Yaitu kawah yang menghasilkan asap karena aktifitas gunung berapi. Hanya bedanya kawah Bromo lebih sempit dan terfokus di satu titik, tidak seperti tangkuban parahu. Di puncak gunung Bromo ini lukisan alam begitu menakjubkan kami saksikan.

Pura yang sempat kami kunjungi terlihat kecil dan persegi panjang. Di sebelah kiri gunung Bromo, gunung Batok berdiri dengan gagahnya. Suhu yang dingin membuat betah berlama-lama menyaksikan pemandangan yang luar biasa ini. Suhu Bromo tidak sedingin tangkuban parahu hanya terasa dingin sejuk. Di sini saya merasa begitu kreatifnya Sang pencipta, begitu Agung dan begitu Besar. Sedangkan saya hanyalah satu titik kecil yang mungkin tak berarti apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar